Sejak erupsi pertama Jumat 26 November 2010 lalu, Bromo belum berhenti bergejolak. Meski tak sedahsyat Merapi.
Walaupun masih berstatus 'awas', pesona gunung yang berada di tiga kabupaten di Jawa Timur -- Probolinggo, Pasuruan, dan Malang belum lagi pupus. Bahkan, asap tebal bercampur abu yang ke luar dari kawahnya justru membuat Bromo makin memesona.
Untuk mengantisipasi bahaya, personel pengamanan disiapkan di sejumlah titik. Termasuk polisi pariwisata yang bertugas mendata pelancong asing dan lokal di sekitar Taman Nasional Bromo, Tengger, dan Semeru (TNBTS).
Hal tersebut sesuai instruksi dari pemerintah. "Saya telah menginstruksikan untuk menjaga semua jalur menuju Gunung Bromo. Misalnya, yang dari arah Pasuruan, pokoknya semua harus terdata," kata Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf, Senin, 29 November 2010.
Gus Ipul, demikian nama akrabnya, menambahkan bahwa pemerintah tidak melarang pelancong asing atau lokal untuk melihat Bromo, tetapi ketentuan pemerintah yang menetapkan radius 3 kilometer sebagai zona 'awas' harus diperhatikan.
"Kita memahami keberadaan Bromo sebagai keajaiban alam dan layak untuk disaksikan. Tetapi, kita juga membuat aturan untuk ditaati. Kalau ada apa-apa siapa yang bertanggung jawab," pungkas Gus Ipul.
Selain melakukan pendataan, petugas juga menjaga 'jalan tikus' atau jalur ilegal menuju Bromo. "Di setiap satu jalan tikus, kami siapkan sampai enam penjaga," kata Mulyono, petugas Pos Pengamatan Gunung Bromo di Cemorolawang, Sukapura, Probolinggo.
Sebelumnya, dua wisatawan menjadi korban saat Bromo meletus pada 24 Juni 2004 sekitar pukul 15.20 WIB. Keduanya tewas tertimbun pasir. Mereka ditemukan tergeletak di bawah anak tangga menuju kawah Bromo. Letusan Bromo kala itu juga menyebabkan lima orang lainnya luka-luka.
• VIVAnews
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment